Sunday, August 9

Kehilangan Tyler

oleh Lisa Gauches


Bagi sang pengamat, kami seperti dua anak SMU biasa. Dia asyik membaca buku panduan college, sedang aku menulis esai aplikasi college-ku. Sambil menggigit ujung pensil nomor duaku, aku mencoba memikirkan kata-kata untuk dikenang. Itulah topik tulisanku.

Pikiranku melayang meninggalkan halaman-halaman kosong itu, dan begitu pula tatapanku. Kuperlihatkan Tyler. Keningnya berkerut samar, dan aku tahu beberapa detik lagi dia akan menyentakkan kepalanya sedikit ke samping supaya rambutnya tersibak dari wajahnya.Hitungan mundur-tiga,dua,satu... Tyler menyentakkan kepalanya sedikit ke kiri. Sudah jadi kebiasaan sekarang, sejak ia memotong pendek rambutnya berbulan-bulan yang lalu.

Dalam hati aku meramalkan beberapa detik lagi dia akan memaki-maki dalam bahasa Gaelic. Dia melakukannya, dan aku tertawa. Inilah salah satu dari sekian banyak situasi dimana kau memganal orang lain lebih baik daripada kau mengenal dirimu sendiri.
Dan akhir-akhir ini, aku semakin sering mengamati Tyler.

Ekspresi wajahnya barangkali merupakan cerminan wajahku sendiri. Mata kami sarat oleh stres, frustasi, dan kebingungan. Kemana saja waktu telah pergi ? Hari-hari bagai terseret lambat, namun tahun-tahun berlalu dengan cepat.

Kuletakkan kepalaku di kedua tanganku dan terus menatapnya. Aku belum tahu mau menulis apa. Dua belas tahun lamanya aku mengenal orang ini. Dia sahabatku sejak TK; setiap kali menghadapi masalah, aku langsung lari padanya.

Ketika kulihat dia batuk, hatiku pun cemas. Nyaris aku bertanya apakah dia ingin keluar mencari udara segar. Tetapi dialah yang mengajakku kemari, jadi aku tidak mengatakan apa-apa. Sekilas pandang dia tampak baik-baik saja, mungkin sedikit lelah. Namun, aku melihat lingkaran-lingkaran hitam di bagian bawah matanya, dan lubang-lubang baru pada ikat pinggangnya, akibat berat badannya turun. Itu lubang baru ketiga bulan ini. Tanpa mengangkat kepala ia berkata, "Berhentilah menatapku seperti itu."

Tanpa bergerak aku menjawab, "Siapa yang menatap!"

Dulu, waktu berumur sembilan tahun, aku mencari kata cystic fibrosis di dalam kamus: penyakit turunan umum yang muncul di masa kanak-kanak, yang disebabkan oleh rusaknya kelanjar eksokrin dan kekurangan enzim pankreatik.
Waktu itu aku benar-benar bingung. "Tyler tidak sakit seperti itu," aku memberitahu ibuku. "Dia sering batuk-batuk,dan tidak suka makan. Dokter-dokter itu pasti keliru."

Ibuku hanya memelukku.
Nyaris sepanjang yang bisa kuingat, Tyler terus-menerus sakit. Dan aku selalu heran melihat optimismenya. Karenanya, aku ikut optimis juga. Dulu aku yakin donor paru-paru akan muncul.
Aku juga yakin para ahli genetika akan menemukan obat ajaib. Namun kemudian, ketika dia semakin kurus dan kurus, pikiran posotifku lenyap sama sekali, dan aku tak henti-hentinya merasa cemas.

Aku tahu dia sendiri juga semakin frustasi. Frustasi dirinya takkan bisa melakukan semua yang ingin dilakukannya, frustasi memikirkan dirinya semestinya tidak masuk college dan membuang-buang uang orangtuanya karena bisa saja ia meninggal sebelum menyelesaikan studinya.

Tyler juga marah. Terhadap dunia, terhadap Tuhan dan, kadang-kadang, bahkan terhadap diriku. Bagaimanapun aku akan melakukan hal-hal yang takkan bisa dilakukannya. Tetapi dia tidak akan mau mengakuinya. Malah dia menyembunyikannya dengan baik sekali. Hanya aku, yang telah sangat lama mengenalnya, mengetahuinya.

Aku sendiri juga marah, tapi karena alasan-alasan yang egois. Sebentar lagi aku tidak akan punya teman untuk ngobrol lagi. Takkan ada lagi yang bisa memahamiku seperti Tyler. Aku kehilangan sahabat terbaik yang bisa dimiliki seseorang. Aku beruntung mengenalnya, dan Tuhan akan mengambil kembali orang terbaik dan terlembut yang pernah kukenal itu.

Dan aku masih harus memikirkan kata-kata untuk dikenang. Setetes air mata mengalir turun di sebelah kanan wajahku. AKu sama sekali tidak bergerak menghapusnya. Aku tak ingin Tyler mengangkat wajahnya dan melihatku menangis. Biasanya aku pandai sekali menyimpan air mataku, namun dia selalu saja tahu.

Dia mendongak dan, dengan ibu jari kirinya, menghapus air mataku. Ia tersenyum. Senyum yang sama seperti yang diberikannya padaku dua belas tahun yang lalu, ketika dia menawarkan setengah roti selai kacangnya kepada gadis kecil di seberang meja yang lupa membawa makan siangnya.

Tyler memandang kertasku yang masih kosong. Di sana tertulis Kata-Kata untuk Dikenang. Dia tersenyum.
"Ingatlah selalu,Lise, inilah kata-kata untuk dikenang: 'Tawa paling tulus kita ditambah sedikit kepedihan sangatlah mengharukan.'" MySpace

No comments:

Post a Comment